PERNIKAHAN DALAM FIQIH ISLAM
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan
umat muslim, pernikahan merupakan salah satu ibadah yang sangat penting dan
dianjurkan oleh Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Karena pernikahan dapat
mencegah perbuatan zina dan keji yang sangat di benci dan di laknat oleh Allah
Swt.pernikahan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh rasul , dan
merupakan ibadah bagi manusia.
Jika tidak ada pernikahan, maka akan timbul
perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin juga sampai
menimbulkan pembunuhan antar sesama manusia.
Pada zaman
sekarang ini, banyak masyarakat yang mau melakukan perbuatan zina tersebut.
Mereka melakukan zina tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi yang akan
datang. Mereka hanya memikirkan hawa nafsu sesaat yang dapat merusak masa
depannya.
Oleh karena itu,
syariat islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan
pernikahan ini. Dalam Al-Quran dan Hadist juga diterangkan tentang pernikahan
yang dapat menambah wawasan dan menjauhkan umat muslim dari perbuatan yang
terlarang.
B.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk
menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan.
2. Menambah
wawasan tentang pernikahan.
3. Wawasan
untuk masa depan bagi diri kita sebagai mahasiswa/i
4. Menambah
wawasan pemikiran tentang pernikahan secara syariat islam yang baik dan benar.
C.
Permasalahan
Dan Pembatasan Masalah
Penulis mengemukakan bahwa
permasalahan dan pembatasan masalah dalam makalah ini meliputi :
1.
Bagaimana pernikahan yang baik buat
umat muslim?
2.
Bagaimana cara agar mahasiswa dapat
memahami tentang pernikahan.
3.
Apakah arti pernikahan sebenarnya
dalam islam.
4.
Bagaimana pandangan islam mengenai
talak , cerai ,& rujuk .
D.
Manfaat
Penulisan
Menambah
wawasan pemikiran kita mengenai masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan
hakikat kita sebagai manusia,dan insha Allah kita semua akan menjalani
pernikahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kitab Nikah ( Pernikahan)
Dalam Al-quran
dan hadist, pernikahan disebut dengan an-nikah, az-ziwaj/ az-zawj atau az-zijah.
Terambil dari kata zawwaja –yuzawwiju-tajwijan yang secara harfiah berarti
mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai, dan memperistri.
Dalam Kamus
Bahasa Indonesia kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan perempuan
menjadi suami istri, (2) beristri atau berbini, (3) dalam bahasa pergaulan
artinya bersetubuh.[1]
Pengertian
senada juga di jumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawin diartika
menikah, bersetubuh dan berkelamin. Dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia, kawin
diartikan dengan “menjalin kehidupan baru dengaqn bersuami istri, menikah,
melakukan hubungan seksual, bersetubuh.[2]
Ta’rif
pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong – menolong antara seorang laki-laki antara seorang laki
– laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Firman Allah Swt
:
.
. . . فَواحِدَةً تَعْدِلُوا أَلاَّ خِفْتُمْ
فَإِنْ رُباعَ وَ ثُلاثَ وَ مَثْنى نِّساءِ
مِنَ لَكُمْ طابَ ما فَانْكِحُو . ..
“
Maka nikahilah wanita – wanita (lain)
yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”(An-Nisa : 3)
Nikah adalah
salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat
yang sempurna.
Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-
teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan
keturunannya, melainkan dua keluarga.Sabda Rasulullah Saw :
“Hai pemuda – pemuda, barang siapa diantara
kamu yang mampu sertaberkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena
sesungguhnyapernikahan itu dapat merundukkan pandangan mata terhadap orang yang
tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang
siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa
nafsunyaterhadaqp perempuan akan berkurang.”(Rwayat Jama’ahahli hadis)
Dalam
hal ini, faedah yang terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan
memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab perempuan
wajib ditanggung sama suaminya apabila sudah menikah, untuk memelihara
kerukunan anak cucu (keturunan), juga untuk kemashalatan masyarakat.
B.
Meminang
Meminang artinya
menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki – laki kepada seorang
perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.
Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama islamterhadap gadis
atau janda yang habis masa iddahnya, kecuali perempuan yang masih dalam iddah
ba’in, sebaliknya dengan jalan sindiran saja.
Firman Allah Swt
:
. . . . . . . النِّسَاء
خِطْبَةِ مِنْ بِهِ عَرَّضْتُم فِيمَا عَلَيْكُمْ جُنَاحَ وَلاَ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”(Al-Baqarah : 235)
Adapun terhadap
perempuan yang masih dalam iddah raj’iyah,
maka haram meminangnya karena secara hukum masih berstatus sebagai istri bagi
laki- laki yang menceraikannya, dan dia boleh kembali kepadanya. Demikian juga
tidak boleh meminang seorang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain,
sebelum nyata bahwa permintaannya ini tidak diterima.
Sebagian ulama
mengatakan bahwa hukum melihat orang yang akan dipinang itu boleh saja, dan ada
juga sebagian ulam yang berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan dipinang
itu hukumnya sunat.
Jadi, sekiranya
tidak dapat dilihat, boleh mengirimkan utusan seorang perempuan yang
dipercayai, supaya dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang
akan dipinangnya itu.
Sabda rasulullah
Saw :
“Apabila salah seorang di antara kamu
meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu,
hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka
lakukanlah.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
C.
Hukum
Nikah dan Rukun Nikah
a) Hukum
Nikah
·
Jaiz
( diperbolehkan), ini asal hukumnya.
·
Sunat,
bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dll.
·
Wajib,
bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan
(zina).
·
Makruh,
bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
·
Haram,
bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.
b) Rukun
Nikah
·
Calon
Mempelai
·
Wali
(wali si perempuan)
Rasulullah
Saw bersabda :
“Barang siapa
diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya
batal.”(riwayat empat orang ahli hadis, kecuali Nasai)
·
Ijab
Kabul
Pernikahan
harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut hukum
pernikahan, ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan
pernikahan dari wali pihak perempuan dan sebagai lambang saling meridhoi dan
sebagai tanda bahwa pasangan tersebut sudah terikat.[3]
Kabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang di
ucapkan oleh mempelai pria.[4]
·
Dua
orang saksi
Sabda
Rasulullah Saw:
“Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”
D.
Wali
1.
Susunan
Wali :
Ø Bapaknya
Ø Kakeknya
( bapak dari bapak mempelai perempuan)
Ø Saudara laki-laki yang seibu bapak dengannya
Ø Saudara
laki- laki yang sebapak saja dengannya
Ø Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
Ø Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
Ø Saudara
bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
Ø Anak
laki-laki pamannya dari pihak bapaknya
Ø Hakim
2.
Syarat
Wali dan Dua Saksi
Ø Islam,
orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi.
Firman
Allah Swt :
. . . . . . أَوْلِيَاء وَالنَّصَارَى الْيَهُودَ تَتَّخِذُواْ لاَ آمَنُواْ
الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu).”(Al-Maidah :51)
Ø Baliq
(sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
Ø Berakal
Ø Merdeka
Ø Laki-laki,
karena tersebut dalam hadist riwayat Ibnu Majah dan Darutqi.
Ø Adil
3. Keistimewaan Bapak dari
Wali-wali lain
Bapak
dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang
bikir/perawan dengan tidak meminta izin anak terlebih dahulu, yaitu dengan
orang yang dipandangnya baik. Kecuali anak yang sayib (tidak perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali dengan
izinnya terlebih dahulu.
Ulama-ulama yang memperbolehkan
wali (bapak dan kakek) menikahkan tanpa izin dengan syarat :
-
Tidak ada permusuhan
antara bapak dan anak
-
Hendaklah dinikahkan
dengan orang yang setara(se-kufu)
-
Maharnya tidak kurang
dari mahar misil (sebanding)
-
Tidak dinikahkan dengan
orang yang tidak mampu membayar mahar
-
Tidak dinikahkan dengan
laki-laki yang mengecewakan si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki
itu.
4. Enggan
atau Keberatan wali
Apabila
seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang
laki- laki yang setingkat (se-kufu), dan walinya berkeberatan dengan tidak ada
alasan, maka hakim berhak menikahkannya dan setelah memberi nasehat kepada wali
agar mencabut keberatannya itu. Apabila wali tetap berkeberatan, maka hakim
berhak menikahkan perempuan itu.
5. Dua
Orang Wali Masing-masing menikahkan
Seorang
perempuan dinikahkan oleh dua orang walinya yang sederajat kepada dua orang laki-laki.
Jika yang terdahulu di antara keduanya diketahui, maka yang te rdahulu itulah
yang sah, sedangkan yang terakhir tidak sah.
Jika
yang terdahulu tidak diketahui, atau diketahui bersamaan, maka kedua perkawinan
itu batal; karena asalnya perempuan itu haram, sehingga penyebab halalnya wajib
diketahui dengan jelas.
E.
Mahram
Mahram
(orang yang tidak halal dinikahi)ada 14 macam, yaitu :
·
Tujuh
orang dari pihak keturunan
1) Ibu
dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
2) Anak
dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara
perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
4) Saudara
perempuan dari bapak.
5) Saudara
perempuan dari ibu.
6) Anak
perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
7) Anak
perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
·
Dua
orang dari sebab menyusu
1) Ibu
yang menyusui.
2) Saudara
perempuan sepersusuan.
·
Lima
orang dari sebab pernikahan
1) Ibu
istri (mertua)
2) Anak
tiri, apabila sudah campur dengan ibunya
3) Istri
anak (menantu)
4) Istri
bapak (ibu tiri)
Firman
Allah Swt :
. . . . . . . .النِّساءِ ا مِنَ
آباؤُكُمْ نَكَحَ ما تَنْكِحُوا وَل
“Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu.”(An-Nisa : 22)
5) Haram
menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua perempuan
yang ada hubungan mahram.
F.
Kufu
(Setingkat)
Setingkat dalam
pernikahan antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat, yaitu menurut
tingkat kedua ibu bapak.
1. Agama
2. Merdeka
atau hamba
3. Perusahaan
4. Kekayaan
5. Kesejahteraaan
Kufu adalah hak perempuan dan
walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keridhoan bersama. Kufu itu hanya
berlaku mengenai keagamaan, baik mengenai pokok agama seperti islam – maupun
kesempurnaan, misalnya yang baik (taattidak sederajat dengan orang jahat atau
tidak taat.
G.
Pembagian
Waktu
Bagi orang yang
memiliki istri lebih dari satu, hendaklah memisahkan tempat kediaman masing-masing
istri itu. Pembagian waktu diantara istri-istri itu hendaklah sama dan betul
dilakukan, baik yang mempunyai kediaman di dalam sebuah rumah maupun
masing-masing berumah sendiri-sendiri.
Apabila suami
hendak bepergian hanya dengan salah seorang istrinya, hendaklah dia mengadakan
undian di antara istri-istrinya itu, siapa yang memperoleh undian, hendaklah
dia yang dibawa, dan yang lain boleh tinggal.
H.
Mahar
(Maskawin)
Mahar adalah
pemberian dari seorang suami yang diwajibkan memberi sesuatu kepada istri, baik
berupa uang ataupun barang (harta benda).
Firman Allah Swt :
. . . . . . . .نِحْلَةً
صَدُقاتِهِنَّ النِّساءَ آتُوا وَ
“Berikanlah maskawin ( mahar )
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”(An-Nisa
: 4)
Hukum memberikan
mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan
mesti menyerahkan mahar kepada istrinya itu.[5]
Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada
istrinya sewaktu dia menceraikannya. Pemberian ini wajib utk laki-laki apabila
penceraian itu terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau penceraian itu
kehendak istri, pemberian itu tidak wajib
Orang yang menikah hendaklah mengadakan perayaan
menurut kemampuannya. Mengenai hukumnya, sebagian ulama mengataka wajib dan
sebagian lagi mengatakan sunat. Memenuhi undangan perayaan pernikahan hukumnya
wajib, bagi orang yang tidak berhalangan.
I. Talak ( Penceraian )
Secara
bahasa Ta’rif talak adalah “melepaskan ikatan” atau melepaskan
ikatan pernkahan. Apabila tujuan-tujuan yang dalam membangun kehidupan berumah
tangga tidak tercapai dapat mengakibatkan berpisahnya dua keluarga dan berujung
kepada perceraian.
Hukum
talak ada 4, yaitu :
1.
Wajib : Apabila terjadi
perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara
keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.
2.
Sunat : Apabila suami tidak
sanggp lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), perempuan tidak
menjaga kehormatan dirinya.
3.
Haram : (bid’ah) dalam dua
keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid. Kedua,
menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampuri sewaktu suci itu.
4.
Makruh : yaitu hokum asal dari
talak yang tersebut diatas.
Ada beberapa Lafazh Talak yang dipakai untk perceraian
:
·
Sarih (terang), yaitu kalimat
yang tidak ragu-ragu.
·
Kinayah (sindiran), yaitu kalimat
yang masih ragu-ragu
Tiap-tiap orang yang merdeka berhak menalak
istrinya dari talak satu sampai talak tiga. Talak satu atau dua masih boleh
rujuk sebelum habis iddahnya, dan boleh menikah kembali setelah iddah. Dan
talak tiga tidak boleh menikah rujuk atau nikah kembali, kecuali apabila si
perempuan telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak juga.
Istisna artinya mengurangkan maksud
perkataan yang telah terdahulu dengan perkataan yang terkemudian. Istisna dalam
kalimat talak hukumnya sah, dengan syarat “ Perkataan yang pertama berhubungan
dengan yang kedua, dan kalimat kedua tidak menghabisi maksud kalimat yang
pertama.
Ta’liq talak sama hukumnya dengan talak
tunai, yaitu makruh. Tetapi kalau adanya ta’liq itu akan membawa kerusakan
(kekacauan), sudah tentu hukumnya jadi terlarang (haram).
Khulu’ ( Talak tebus) artinya talak yang
diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada pihak suami.
Penceraian dengan cara ini diperbolehkan dalam agama kita dengan disertai
beberapa hokum perbedaan dengan talak biasa.
Ila’ artinya si suami tidak akan
mencampuri istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak
menyebutkan jangka waktunya. Ila’ ini di zaman jahiliyah berlaku talak,
kemudian diharamkan oleh agama islam.
Zihar adalah seorang laki-laki yang
menyerupakan istrinya dengan ibunya sehingga istrinya itu haram atasnya.
Misalnya suami berkata : “engkautampak olehku seperti punggung ibuku.” Suami
tersebut wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan istrinya sebelum
membayar kafarat itu.)
Denda
(kafarat) zihar yaitu :
-
Memerdekakan hamba sahaya
-
Atau puasa dua bulan berturut-turut
-
Atau member makan 60 orang miskin, tiap-tiap
orang ¼ sa’ fitrah (3/4) liter)
Li’an ialah perkataan suami
“saya persaksikan kepada allah bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada
istri saya bahwa dia telah berzina.”
J. Iddah dan Rujuk
Iddah ialah masa menanti yang diwajibkan
atas perempuan yang diceraikan suaminya, gunanya supaya diketahui kandungannya
berisi atau tidak. Ada ketentuan iddahnya sebagai berikut :
ü
Bagi perempuan yang hamil, iddahnya adalah
sampai lahir anak, baik cerai mati ataupun cerai hidup.
ü
Perempuan yang tidak hamil. Cerai mati iddahnya
yaitu 4 bulan 10 hari. Cerai
hidup iddahnya : tiga kali suci waktu haid atau tiga bulan jika perempuan itu
tidak sedang haid.
Rujuk adalah mengembalikan
istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Hukum
rujuk yaitu :
·
Wajib,
suami yang menalak istri sebelum dia sempurnakan waktunya untuk istrinya.
·
Haram,
apabila rujuknya untuk menyakiti istri
·
Makruh,
kalau percerain merupakan jalan yang lebih baik.
·
Jaiz,
hukum rujuk asli
·
Sunat,
jika untuk memperbaiki keadaan istrinya dan rujuk berfaedah bagi keduanya.
K.
Tujuan
dan Hikmah Pernikahan
Pernikahan
bertujuan untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan
mendatang dan untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan merasa kasih sayang. Hikmah pernikahan yaitu :
1. Hikmah
pernikahan yaitu dapat menjaga kehormatan diri dari terjatuh kepada kerusakan
seksual
2. Dapat
membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara
keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.[6]
BAB
III
KESIMPULAN
Pernikahan
adalah hakikat kita sebagai manusia & pernikahan merupakan suatu cara yang
bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan juga sebagai sunnatullah, apabila
seseorang telah berkemampuan untuk berkeluarga dan takut akan terjerumus
kejurang dosa, maka menikah adalah solusi yang paling tepat dalam pertanyaan
ini.
Dengan
demikian pernikahan bukan saja penyaluran kenikmatan duniawi saja, tetapi juga
sebagai perintah agama agar pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan
terpelihara ketaqwaannya, Di dalam memiliki prinsip-prinsip kerelaan atau tidak ada paksaan, dan juga ketentuan bahwa
laki-laki boleh menikahi lebih dari seorang wanita bukanlah maksud yang sebenarnya, tapi menyangkut nasib anak-anak
yatim dan janda-janda miskin , dan ini adalah maksud yang sebenarnya.
Pernikahan
memiliki rukun tertentu, diantaranya ada calon suami dan calon istri , wali,
dua orang saksi, dan sighat akad, Di setiap unsur rakun memiliki syarat
masing-masing sehingga tercapai tujuan pernikahan. Dan dalam pernikahan
terkandung beberapa hikmah , yaitu menghalangi mata dari melihat kepada hal
–hal yang diizinkan syara’ , menjaga kehormatan diri dari terjatuh kepada
kerusakan seksual , untuk memperbanyak keturunan,melestarikan hidup manusia
serta memelihara keturunan, naluri orang tua akan tumbuh saling melengkapi
dalam suasana hidup, pembagian tugas dimana seorang istri mengatur dana
mengurus rumah tangga sedangkan suami bekerja dan berusaha mendapatkan harta
dan belanja untuk keperluan rumah tangga, dapat membuahkan tali kekeluargaan ,
mempertumbuh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memeperkuat hubungan
kemasyarakatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rasyid,
Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung :
Sinar Baru Algensindo
Syarifuddin,
Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh.
Bogor : Kencana
Sabiq, Sayid.
1996. Fiqih Sunnah. Bandung : PT. Al-
Ma’arif
[1] W.J.S. poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985
(Jakarta :Balai Pustaka), hlm.453
[3] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, PT. Al-Ma’arif,
1996, hlm. 9-10
[4] Hassan Shaleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008
[5] Amir Syarifuddin,
Garis-garis Besar Fiqh, Bogor, Kencana,2003,hlm.87-97
[6]Sayid sabiq, op.cit.hlm.19-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar, saran terhadap tulisan bloq ini. terimakasih atas partisipasi yang anda berikan.